Apa yang tidak anda lihat di media tentang Gaza? – Wawancara dengan Dubes Palestina, Fariz Mehdawi

tim marbun

Di tengah ramainya pembicaraan dan perhatian dunia pada peristiwa yang terjadi di Gaza, saya berkesempatan untuk mewawancarai Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz N. Mehdawi di Kedutaan Palestina di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat. Wawancara dilaksanakan pada tanggal 14 Juli 2014 dalam bahasa inggris. Berikut adalah terjemahan lengkap dari wawancara yang berdurasi 24 menit tersebut.
Pertanyaan yang saya ajukan akan diawali dengan huruf T, dan jawaban Duta Besar akan ditandai dengan huruf J.
Semoga berguna.
——————————————-
T:
Duta besar, terima kasih atas waktu anda. Pertama saya ucapkan turut prihatin atas kondisi yang terjadi di Gaza saat ini, yang harapannya akan segera membaik. Pertanyaan saya adalah, media tidak selalu dapat menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi disana. Apa kondisi Gaza yang tidak kita lihat di media?
J:
Yang tidak kita lihat, orang selalu tertarik dengan angka. Kita sudah berhitung berapa angka martir disana. Sudah lebih dari 200 orang, dan bangunan yang hancur juga…

View original post 2,679 more words

Pernikahan: Peristiwa Peradaban

Berbagi Kisah

image

Berikut adalah khutbah nikah pada pernikahan anak dari ust Tate Qomaruddin, oleh Ust Anis Matta…

Kita seringkali menganggap pernikahan itu adalah peristiwa hati. Padahal sesungguhnya pernikahan adalah peristiwa peradaban.

Ini bukan cuma tentang 2 manusia yang saling mencinta lalu mengucap akad. Ini peristiwa peradaban yang mengubah demografi manusia.

Pernikahan adalah sayap kehidupan. Rumah adalah benteng jiwa. Jika di rumah kita mendapat energi memadai, di luar rumah kita akan produktif.

‘Sakinah’ bukan cuma ‘tenang’. Ia berasal dari kata ‘sakan’ yang artinya ‘diam/tetap/stabil’. Maka ia tenang karena stabil, bukan lalai.

Sakinah: ketenangan yang lahir dari kemantapan hati. Manusia jadi tenang saat kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi secara komprehensif.

Alquran jelaskan: ‘Kami jadikan air sebagai sumber kehidupannya’. Air (mani): sumber stabilitas dan produktifitas.

Hakikat pernikahan tidak bisa dipelajari dari manapun. Learning by doing. Islam arahkan menikah muda agar penasaran itu cepat terjawab.

Agar setelah ‘rasa penasaran’ itu terjawab, perhatian seseorang bisa lebih banyak tercurah dari urusan…

View original post 66 more words

Menit-menit yang luput dari catatan sejarah Indonesia

Merdeka kah kita??

Padepokan Kafil Yamin

Pengantar:

Bukanlah maksud saya hendak mengutik-ngutik ‘nasi yang sudah menjadi bubur’ dengan tulisan ini. Semata-mata saya bersaksi. Kesaksian harus disampaikan, betapapun tidak populernya. Betapapun terpinggirkannya. Kebetulan saya saksi. Saksi harus bicara.

Atau, kalau kata ‘kesaksian’ terdengar teralu resmi. Ya sudah, saya menuliskan sebuah kenangan saja. Namun lebih dari itu semua, saya merasa ada pelajaran sangat berharga dari beberapa saat di masa lalu ini. Dan saya ingin orang-orang muda Indonesia belajar sesuatu dari ini.

‘Nasi sudah menjadi bubur’ yang saya maksud adalah Timor Timur, yang sekarang bernama Timor Leste.

SAYA dikirim kantor berita saya, the IPS Asia-Pacific, Bangkok, pada tanggal 28 Agustus 1999, untuk meliput ‘Jajak Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET [United Nations Mission in East Timor], 30 Agustus 1999.

Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah referendum, adalah buah dari berbagai tekanan internasioal kepada Indonesia yang sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun…

View original post 3,723 more words

Surat Terbuka untuk Jomblo-Jombo Ideologis

Jangan takut dan khawatir. Allah swt paling tahu mana yang terbaik untuk antum. Mana proses pembelajaran yang tepat untuk menyiapkan antum sebagai kepala keluarga ahli surga.

Angin

Khususnya kepada Ikhwan-ikhwan yang belum berani menikah atau yang prosesnya masih kandas selalu, tulisan Ust. Salim A. Fillah ini super sekali..

https://www.facebook.com/notes/rihan-handaulah/mencintai-sejantan-ali-salim-a-fillah/10151287827638839

Oke jadi begini ibroh-nya, bahkan manusia agung seperti Abu Bakar as shidiq dan Umar bin Khattab radiyallahu anhum pun pernah ditolak lamarannya. Nah kalau begitu kita ini siapa dibandingkan mereka?

Hubungan antara cinta dan keimanan memang sederhana dan gamblang. Sesederhana dan bahwa tiada yang lebih dicintai dari ALlah dan Rasul-Nya. Segamblang bahwa motivasi mencintai harus karena Allah dan Rasul-Nya. Sejelas pentunjuk; nikahilah wanita karena agamanya, maka kamu akan beruntung.

Tapi antara cinta dan keimanan juga kadang rumit, tak mesti urusan cinta (dalam timbangan perasaan manusia) selalu berbanding lurus dengan kualitas iman seseorang. Siapakah Abu Bakar dan Umar yang ditolak oleh Fatimah? Apa pula Fatimah mesti diragukan kualitas keimanannya karena menolak pinangan manusia pilihan? Siapa juga yang tak kenal ulama pembaharu termahsyur Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan siapa yang…

View original post 450 more words

Cita-cita dan “Role Model”

H Gunawan's Blog

Sering berinteraksi dengan anak-anak usia sekitar 10-15 tahun? Coba tanya mereka, apa cita-citanya. Dengan cepat mereka mungkin akan menjawab: dokter, insinyur, artis, atau Presiden. Kadang-kadang ada juga yang bercita-cita menjadi guru atau profesor. 😉

Cukup melegakan bila anak-anak mempunyai cita-cita. Tapi, bila mereka bercita-cita menjadi dokter, misalnya, dokter sehebat apakah sih yang mereka bayangkan? Insinyur apa dan sehebat apa? Bahkan menjadi Presiden pun, sosok Presiden mana yang mereka bayangkan — karena kita tahu tidak semua Presiden bagus.

Singkat kata, kalau mereka hanya menyebutkan jenis pekerjaannya, tanpa ada kejelasan sehebat apa, mereka kemungkinan akan mendapat pekerjaan tersebut, tapi pada dasarnya mereka akan menjadi seperti orang kebanyakan.

Mempunyai cita-cita itu bagus, tapi coba tanya mereka lebih jauh: siapa role model mereka? Role model adalah orang hebat yang mereka idolakan, yang menginspirasi mereka. Bila mereka ingin menjadi insinyur, misalnya, siapakah idolanya? B.J. Habibie-kah? Apa karya keinsinyurannya yang istimewa — anak harus punya alasan…

View original post 135 more words

Belajar yang Enak

Sewaktu SD dan SMP saya benci pelajaran IPS, PPKn, dan pelajaran hapalan lainnya. Saya pikir hapalan itu merepotkan. Emangnya nanti kalau sudah lulus sekolah kita bakal ditanya mengenai sejarah, geografi? Saya lebih memilih belajar Matematika karena tidak perlu menghapal. Hehe.

Pasti banyak juga orang yang berpikir sebaliknya. Ngapain belajar Matematika? Emangnya nanti pas kerja kepake? Buat apa pula belajar rumus-rumus fisika? Ribet banget ngitungnya. Sampai pada akhirnya membenci beberapa mata pelajaran tertentu.

Kalau sudah benci ya sudah… Yang penting dapet nilai. Ya, gak?

Saya juga pernah berpikir, mengapa dari SD sampai SMA saya “dipaksa” harus mengambil mata pelajaran yang saya benci. Bahkan hingga kuliah pun ada beberapa mata kuliah yang (tadinya) saya pikir.. tidak perlu.

Benarkah beberapa mata pelajaran memang perlu dan yang lainnya memang tidak perlu??

Seringkali kita berpikir subjektif.. Karena tidak suka berhitung, ga usah belajar rumus-rumus? karena tidak suka menghapal ga usah belajar sejarah? Tapi apakah orang-orang yang menyusun kurikulum tidak berpikir seperti itu?

Intinya… Apakah kita perlu menentukan materi yang patut dipelajari?

Menurut saya, hal itu tidak perlu dipikirkan. Yang penting adalah belajar. Apapun pelajarannya, yang penting belajar. Memang kadang-kadang kita perlu mengimani bahwa apa yang kita inginkan belum tentu merupakan yang kita butuhkan.

Bahkan sebagai seorang mahasiswa Matematika, saya setuju dan menyadari bahwa ilmu yang saya pelajari kebanyakan tidak akan dipakai di dunia kerja (selain akademisi/peneliti).

Tapi coba pikirkan, apakah semua pelajaran yang kita benci itu benar sia-sia? Ya, jika kita tidak ingin mengambil manfaatnya. Setiap mata pelajaran atau mata kuliah itu pasti akan melatih otak kita dan membangun pola pikir kita. Sedikit demi sedikit. Orang yang berpendidikan mempunyai pola pikir yang lebih baik daripada yang tidak berpendidikan. Apapun jurusannya, apapun sekolahnya. Jadi, setiap pelajaran itu berguna. Setuju?

Masalahnya adalah apakah kita bisa ikhlas dan rela mengorbankan waktu kita untuk mempelajari hal yang “dirasa” tidak cocok dengan kita?

Kalau kita belajar hanya demi mendapatkan pekerjaan, kemungkinan besar kita tidak akan ikhlas. Tapi bayangkan kalau kita belajar demi menjadi manusia yang bisa berpikir lebih baik, lebih kreatif, dan lebih solutif. Apapun pekerjaan kita nantinya. Kita adalah orang yang dibangun oleh setiap pembelajaran yang kita lewati. Tidak ada pembelajaran yang sia-sia.

Dengan ikhlas dan niat membangun diri, kita akan enjoy mempelajari sesuatu. Jangan biarkan benteng “suka/tidak suka” di pikiran kita malah menghalangi ilmu. Sadarlah bahwa kita bisa mengendalikan diri kita sendiri. Kita bisa membuka pintu ke-ikhlas-an dalam belajar. Terimalah ilmu sebagai tamu. Bukankah tamu itu akan betah jika tuan rumahnya baik? Kalau sudah betah, biarkan tamu itu menginap di rumah kita dan kita akan lebih kenal dan akrab dengan tamu itu.

Belajar yang enak itu adalah belajar yang ikhlas dengan niat membangun diri.